Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar...
Laa... ilaa... haillallah... huallahhu... akbar...
Allahu akbar... Walillaahilhamdu...
Malam 17 Juli 2015,
Selepas Jama'ah Sholat Isya' turun dari masjid dan Mushola, takbir berkumandang dengan merdunya, saling bersahutan antara masjid satu dengan masjid yang lainnya. Bunyi bedug dan arak-arakan obor menambah kesan khidmatnya malam Idul Fitri. Ibu-ibu sibuk menyiapkan kue-kue untuk dihidangkan kepada tamu di meja, anak-anak perempuan sibuk membantu ibunya dan anak laki-laki ikut bapaknya ke masjid atau arak-arakan obor takbiran.
Hari mulai larut namun semakin ramai orang-orang bertakbiran. Semua keluargaku telah kembali ke rumah, saatnya berkumpul dan menikmati malam Idul Fitri dirumah dengan makan-makan dan bercerita, untuk maaf-maafan biasa kami lakukan esok harinya selepas Sholat Ied.
Aku menangis, kedua rasa dalam hatiku muncul sekaligus. Senang dan sedih. Senang kerana aku dan keluargaku tercinta masih diberikan kesempatan oleh Allah untuk bisa berkumpul dan saling memohon maaf. Bercerita dan bersenda gurau, dengan mata berkaca-kaca aku memandangi mereka satu per satu. Tawa mereka sungguh membuat hatiku bahagia, namun juga sedih kerana aku tahu bahwa tawa ini tak selamanya ada menghiasi rumah ini, atau malah tawa mereka akan selalu ada namun aku yang tidak akan pernah bisa melihatnya lagi kerana Allah memanggilku pulang. Rasa ini sungguh berkecamuk, ku lihat wajah Ayah dan Ibuku, dalam tawanya aku melihat kerutan di wajahnya, mereka sudah mulai menua Tuhan, sungguh aku ingin menjaga mereka seperti mereka menjagaku ketika aku masih kecil. Kulihat wajah adik-adikku, ada yang sudah besar ada yang masih kecil, ku tatap wajah adikku yang peling kecil, riang sekali ia bermain dengan mainan barunya, aku tertawa sambil menangis melihatnya. Aku ingin menjaga adikku hingga ia dewasa dan menjadi seorang yang teguh agamanya. Tersadar bahwa aku menangis, keluargaku melihatku dan memelukku. Mereka sudah tahu apa yang aku rasakan tanpa harus bertanya karena aku berbeda.
Aku tidak tahu kapan aku akan pulang, yang aku tahu semua orang akan pulang dan kembali pada Allah. Dalam pelukan mereka aku menangis tersedu-sedu, aku berkata aku menyayangi mereka, aku ingin terus berada bersama mereka, aku ingin bisa merawat ayah ibu, menjaga adik-adik, aku ingin menikah dan punya anak, aku ingin bisa melahirkan anak dan membesarkannya. Itu yang terus ku ucapkan lirih sambil tersedu-sedu. Mereka menitihkan air mata, terutama ibuku, ia selalu menangis ketika anaknya menangis. Namun, ayahku adalah seorang yang pandai menyembunyikan perasaan sedihnya dan ai matanya, tapi ia pun menangis malam ini. Setelah beberapa saat, semua terdiam, aku pun terdiam. Setelah tenang aku mulai berbicara lagi, "Sungguh aku tidak ingin Idul Fitri tahun ini menjadi terakhir dalam hidupku, namun begitu ayah, ibu, dan adik-adikku sayang, tak perlulah kalian bersedih jika waktuku tiba, semua yang hidup pasti akan kembali padaNya, hanya saja waktu dan caranya berbeda-beda, saat ini aku masih bisa beraktivitas dan melakukan banyak hal, maka akan kulanjutkan hidupku sesuai rencanaku". Kemudian, satu per satu wajah mereka tersenyum, dan kita kembali berbincang-bincang seperti semula, melupakan sejenak tentang yang ku alami, walau ku tahu dibalik senyumnya masih tersimpan getir, namun tertutup sempurna.
Gelap semakin gelap,
namun suara takbir terus berkumandang, satu per satu keluargaku masuk kamar untuk beristirahat, begitupun dengan aku. Aku masuk kamar, ku tutup pintu kamarku dan kumatikan lampunya, aku duduk bersandar di sandaran tempat tidur sambil memeluk bantal erat-erat, aku kembali menangis tersedu-sedu. Kali ini aku bukan menangis untuk diriku sendiri dan keluargaku, namun aku menangis karena mengingat saudara-saudaraku sesama muslim di luar sana, yang tak berumah, yang tak ber-ayah dan ber-ibu, yang sampai malam ini masih berjalan dengan kaki tanpa alas menyusuri jalan yang entah mereka tidak tahu kemana arah dan tujuannya, tak punya sesiapa, sanak saudara keluarga. Aku menangis sejadi-jadinya, mengingat bahwa inilah hidup, inilah kenyataan hidup yang harus kita pahami. Memiliki banyak sisi, sisi yang lain adalah sisi yang nyaman di pandang, sisi dimana orang-orang bersama keluarganya berkumpul, memiliki baju baru, makanan dll. Sisi yang lain adalah sisi dimana seseorang yang telah tua sedang menunggu kedatangan anak-anak mereka, ada yang dinantikan pada akhirnya datang namun ada juga yang tidak. Ada sisi yang menganggap bahwa hari ini adalah biasa-biasa saja ada yang menganggap hari ini adalah hari yang sangat mulia, ada yang merayakan hari ini dengan arak-arakan obor ada yang merayakan hari ini ditengah bombardir bom. Aku terus menangis mengingati ini semua, aku tahu bahwa inilah kenyataan hidup, pahit manisnya semua ini semata-mata hanya Allah lah yang tahu rencana sesungguhnya. Kemudian aku berhenti menangis, dan aku mengatakan pada diriku sendiri bahwa apapun yang akan terjadi, aku tetap harus semangat menjalani hidup, mengejar cita-citaku sebagai dosen, menyelesaikan pendidikan S2 ku, menjadi pengantin dan ibu, menjadi anak yang solehah, selalu mengingati Allah dan segala perintah-Nya. Aku terus memotivasi diriku sendiri, adapun jika selama berjalan menuju itu semua tetapi Tuhanku berkendak lain, maka itulah takdirku. Kemudian aku berdo'a dan tidur, berharap aku masih bisa bangun di esok hari untuk melakukan Sholat Ied bersama keluarga dan umat, untuk mendoakan semua keluarga dan umat, untuk bersilaturahim dan saling memohon maaf kepada seluruh keluarga dan umat.
Subuh, 17 Juli 2015, 1 Syawal 1436 Hijriah
Aku melihat danau yang sangat luas, danau itu bersih dan sejuk, hamparan padang rumput hijau nan elok, seluruh langit putih cerah, aku tersenyum melihat ini semua, kemudian aku berjalan ke arah danau bermaksud untuk menyentuh airnya, namun danau itu semakin menjauh, aku bingung, aku terus mengejar danau itu, aku meyakinkan diriku bahwa aku bisa mengejarnya dan menyentuh airnya, namun aku lelah, aku berhenti sejenak dan dalam hatiku bertanya, "sesungguhnya dimanakah aku, kenapa di tempat yang indah ini hanya ada aku". Kemudian sayup sayup aku mendengar suara takbir, awalnya suara itu kecil, aku berjalan mendekati sumber suara itu, aku berjalan menuju danau lagi, suara takbir itu semakin jelas, aku bertanya lagi dalam hati, "apakah mungkin suara itu bersumber dari dalam air", tanpa berpikir panjang aku berlari menuju danau dan tiba-tiba... Byuuurrrr... sebelum aku menggapai airnya, air itu sudah tumpah sendiri ke wajahku, aku terkejut, dan suara takbir semakin terdengar jelas di telingaku.
Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar...
Laa... ilaa... haillallah... huallahhu... akbar...
Allahu akbar... Walillaahilhamdu...
Kakaakkk banguunn, terkejutlah aku ada air dingin yang menyapu wajahku, rupa-rupanya air danau tadi adalah air dalam gelas yang dicipratkan ke wajahku oleh adik kecilku yang iseng demi untuk membangunkan aku. Ah syukurlah aku masih bisa bangun, dan ternyata yang tadi itu cuma mimpi. hehehe, aku tertawa kecil sambil berlalu jalan keluar menuju kamar mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke masjid melaksanakan sholat ied kemdudian sungkeman dengan orang tua, dilanjut silaturahim ke tetangga-tetangga, barulah setelah itu mudik ceriaaa. Alhamdulillah ^_^
Hanya imajinatif belaka :D :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar